KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
1. Pembantaiaan
Rawagede
Pembantaian Rawagede
merupakan pelanggaran HAM yang terjadi penembakan dan pembunuhan penduduk
kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat)
oleh tentara Belanda tanggal 9 Desember 1945 bersamaan dengan Agresi Militer
Belanda I. Akibatnya puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang
kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Tanggal 14 September 2011,
Pengadilan Den Haaq menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus
bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi (kompensasi) kepada keluarga
korban pembantaian Rawagede.
2. Kasus Pembunuhan
Munir
Munir Said Thalib
merupakan aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir
lahir di Malang pada 8 Desember 1965. ia meninggal pada 7 September 2004 di dalam
pesawat Garuda Indonesia ketika Munir sedang melakukan perjalanan menuju
Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan
bahwa Munir meninggal di dalam pesawat karena serangan jantung, dibunuh, bahkan
diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracun
menggunakan Arsenikum di makanan atau minumannya saat ia merada di dalam
pesawat.
Kasus ini sampai
sekarang masih belum ada titik temu, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty
Internasional dan tengah diproses. kemudian pada tahun 2005, Pollycarpus
Budihari Priyanto selaku Pilot pesawat yang ditumpangi munir dijatuhi hukuman
14 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus
pembunuhan Munir, karena dengan sengaja Pollycarpus menaruh Arsenik di makanan
Munir sehingga ia meninggal di pesawat.
3. Pembunuhan Aktivis
Buruh Wanita, Marsinah
Kasus Marsinah terjadi
pada 3-4 Mei 1993. Seorang pekerja dan aktivitas wanita PT Catur Putera Surya
Porong, Jatim. Peristiwa ini berawal dari aksi mogok yang dilakukan oleh
Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka menuntun kepastian pada perusahaan yang telah
melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo tersebut, Marsinah malah
ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk
dalam kondisi mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa
penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Penyelidikan masih belum menemukan
titik terang hingga sekarang.
4. Penculikan Aktivis
(1997/1998)
Kasus penculikan dan penghilangan
secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23 aktivis pro-demokrasi
diculik. Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa dan menghilang, meskipun ada
satu yang terbunuh. 9 aktivis dilepaskan dan 13 aktivis lainnya masih belum
diketahui keberadaannya sampai kini. Banyak orang berpendapat bahwa mereka
diculik dan disiksa oleh para anggota militer.
5. Peristiwa Tanjung
Priok (1984)
Kasus tanjung Priok
terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah
SARA dan unsur politis. Peristiwa ini dipicu oleh warga sekitar yang melakukan
demonstrasi pada pemerintah dan aparat yang hendak melakukan pemindahan makam
keramat Mbah Priok. Para warga yang menolak dan marah kemudian melakukan unjuk
rasa, hingga memicu bentrok antara warga dengan anggota polisi dan TNI. Dalam
peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan korban
meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
6. Penembakan Misterius
(Petrus)
Diantara tahun
1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering
menganggu ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun
kemungkinan pelakunya adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam).
Kasus ini termasuk pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang
meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan
keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain.
Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas karena
ditembak.
7. Kasus Bulukumba
Kasus Bulukumba
merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003. Dilatar belakangi oleh PT. London
Sumatra (Lonsum) yang melakukan perluasan area perkebunan, namun upaya ini
ditolak oleh warga sekitar. Polisi Tembak Warga di Bulukumba. Anggota Brigade
Mobil Kepolisian Resor Bulukumba, Sulawesi Selatan, dilaporkan menembak seorang
warga Desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Senin (3 Oktober 2011)
sekitar pukul 17.00 Wita. Ansu, warga yang tertembak tersebut, ditembak di
bagian punggung. Warga Kajang sejak lama menuntut PT London mengembalikan tanah
mereka.
8. Pembantaian Massal
Komunis (PKI) 1965
Pembantaian ini
merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh
sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis
Indonesia (PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan
anggotanya yang berjumlah jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi dengan
menangkap anggota komunis, menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang
berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965
ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis meninggal dan
sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
9. Pembantaian Santa
Cruz
Kasus ini masuk dalam
catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan
oleh militer (anggota TNI) dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa Cruz,
Dili, Timor Timur pada 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil yang sedang
menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh anggota
militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan warga
sipil mengalami luka-luka bahkan ada yang meninggal. Banyak orang menilai bahwa
kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan melakukan
agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin keluar
dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
10. Kasus Dukun Santet
di Banyuwangi
Peristiwa pembunuhan
ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi sedang marak maraknya
terjadi praktek dukun santet di desa desa. Warga sekitar yang berjumlah banyak
mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan serta pembunuhan terhadap orang
yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun santet pun
dibunuh tanpa peradilan, ada yang dibacok, dipancung bahkan dibakar
hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam,
mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang beruntung masih
selamat dari amukan warga.
11. Peristiwa 27 Juli
(1996)
Peristiwa ini
disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan
mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996. Massa
mulai melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota
ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa
mulai merusak bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas. Dikabarkan lima orang
meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan
sebagian ditahan. Menurut Komnas HAM, dalam peristiwa ini telah terbukti
terjadinya pelanggaran HAM.
12. Kasus Penganiayaan
Wartawan Udin (1996)
Kasus penganiayaan dan
terbunuhnya Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin)terjadi di yogyakarta 16
Agustus 1996. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang
kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak
1986. Udin adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik,
dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
13. Tragedi Semanggi I
dan II
Tragedi Semanggi
merupakan peristiwa protes masyarakat kepada pelaksanaan serta agenda Sidang
Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil, kejadian yang pertama di
kenal dengan nama Tragedi Semanggi I yang terjadi pada tanggal 13 November
1998. Dalam kasus ini 5 orang korban meninggal, yaitu Teddy Mahdani K, Bernadus
Irmawan, Muzamil Joko P, Abdullah dan Sigit Prasetyo. Kemudian kejadian kedua
di kenal dengan nama Tragedi semanggi II yang terjadi pada tanggal 24 September
1999 yang memakan 5 orang korban meninggal yaitu Salim Ternate, Denny Yulian,
Yap Yun Hap, Zainal dan Fadli.
14. Pelanggaran HAM di
Daerah Operasi Militer (DOM), Aceh
Terjadi pada tahun
1976-1989, memakan banyak ribuan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi semenjak
dideklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi
daerah operasi militer dengan itensitas kekerasan yang tinggi.
15. Tragedi Trisakti
Peristiwa penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, pada saat demonstrasi
menuntut Soeharto mundur dari jabatannya. Dalam kasus ini menewaskan empat
mahasiswa Universitas Trisakti diantaranya : Hendrawan Sie (1975-1998), Heri
Hertanto (1977-1998), Elang Mulia Lesmana (1978-1998) dan Hafidin Royan
(1976-1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat
vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
16. Peristiwa Abepura,
Papua
Peristiwa ini terjadi
di Abepura, Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang membabi buta
terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM menyimpulkan
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Abepura.
17.Pelanggaran HAM di
Indonesia – Bom bali
Peristiwa ini terjadi
pada tahun 2002. Sebuah bom diledakkan di kawasan Legian Kuta, Bali oleh
sekelompok jaringan teroris.Kepanikan sempat melanda di penjuru Nusantara
akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga banyak memicu tindakan terorisme
di kemudian hari.Peristiwa bom bali menjadi salah satu aksi terorisme terbesar
di Indonesia. Akibat peristiwa ini, sebanyak ratusan orang meninggal dunia,
mulai dari turis asing hingga warga lokal yang ada di sekitar lokasi
18. kasus Salim Kancil
Peristiwa pada tahun
2015 Berawal mula dari penambangan pasir Pantai Watu Pecak ilegal, aktivis
mencoba menghentikan penambangan tersebut namun.Beberapa Gerombolan mengikat
tangan Salim dan membawanya ke Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 km
dari rumahnya dengan cara diseret. Selain dipukuli, digergaji lehernya, Salim
juga diestrum. Kejadian terjadi kurang lebih setengah jam, hingga menimbulkan
kegaduhan yang pada saat itu sedang berlangsung proses belajar mengajar di
sebuah sekolah Paud. Polres Lumajang saat ini telah mengamankan 22 orang
terduga pelaku pengeroyokan.Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono Kabid Humas
Polda Jatim mengatakan, dari 22 terduga pelaku ini 19 diantaranya sudah
ditahan. “Dua tersangka lainnya tidak ditahan karena masuk kategori di bawah
umur yakni 16 tahun
PERUNDANGAN DAN
KEMAJUAN HAM
Upaya Pemajuan dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia - Pemajuan HAM di Indonesia memiliki berbagai
periode mulai dari periode 1945-1950, periode 1950-1959, periode 1959-1966,
periode 1966-1998 dan terakhir adalah periode 1998-sekarang.
Pemikiran HAM pada
periode 1945-1950 kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pada periode 1950-1959
dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode parlementer.
Pemikiran pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membagakan, karena
suasana kebebasan yang menjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi
parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
Pada periode 1959-1966
sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada demokrasi
ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden.
Pada periode 1966-1998
telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk
wilayah Asia.
Pada periode 1998
memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan
pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM.
Upaya Pemajuan dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
1.
Periode Tahun 1945-1950
Pemikiran HAM pada
periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan
untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah
mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk
ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat
dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan
negara Indonesia merdeka.
Komitmen terhadap HAM
pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945 yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka
menyatakan:
"...sedikit hari
lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita
cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan
masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah
akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang
terbanyak"
Langkah selanjutnya
memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan parta politik.
Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 antara lain
menyatakan sebagai berikut.
Pemerintah menyukai
timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik
itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat.
Pemerintah berharap
partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota
badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam
kaitan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem
pemerintah dari presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang
dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam buku 30
Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut.
"Pemerintah
Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat,
dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat
sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna
menyempurnakan tata usaha macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata
usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam
perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di dalam
tangan menteri".
2.
Periode Tahun 1950-1959
Periode ini dalam perjalanan negara
Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM
pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yangm enjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalngan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof.
Bagir Manan dalam buku "Perkembangan Pemikiran dan Pengaruan HAM di
Indonesia menyatakan bahwa pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini
mengalami "pasang" dan menikmatai "bulan madu" kebebasan.
Indikatornya
menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek.
1. Semakin
banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
2. Kebebasan
pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
3. Pemilihan
umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
4. Parlemen
atau dewan perwakilann rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol
yang semakin efektif terhadap eksekutif.
5. Wacanan
dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondisif sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Dalam
perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda
aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM
masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota
KOnstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
3.
Periode Tahun 1959-1966
Pada
periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin
sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada
sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan
presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur politik.
Dalam
kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi manusia, yaitu hak sipil
dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran dengan tulisan, Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif
(pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga
negara.
4.
Periode Tahun 1966-1998
Setelah terjadi peralihan pemerintah
dari Soekarno ke Soeharto, ada semangan untuk menegakkan HAM. Pada masa awal
periode ini telah ditiadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar
tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang
perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM
untuk wilayah Asia.
Selanjutnya, pada tahun 1968 diadakan
Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil
(judical review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain diadakan
dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentanhg
Hak-Hak Asai Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30
Tahun Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan
sebagai berikut.
"Isi hakikat daripada Piagam
tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban.
Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a.
antarmanusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah
Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang
menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap
masyarakat".
Sementara itu, pada sekitar awal tahun
1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan.
Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya
terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan
paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia.
Pemerintah pada masa ini bersifat
mempertahankan produk hukum yang umunya membangun pelaksanaan HAM. Sikap
pemerintah tercemin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercemin dalam
Pancasila.
Selain itu, Bangsa Indonesia sudah
terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang
lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap
pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh
negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti
halnya Indonesia.
Meskipun mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama di
kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM.
Upaya masyarakat dilakukan melakui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang
terjadi seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Omdo, kasus DOM di Aceh, kasus
Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh mmasyarakat
menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena
terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi
akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM.
Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan pengakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni
1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta
memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan
HAM.
Selain
itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB,
Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada', Deklarasi Kairo, dan
deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengna penegakan HAM.
5. Periode Tahun 1998-Sekarang
Pergantian pemerintah pada tahun 1998
memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan
pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM.
Selanjutnya dilakukan penyusunan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakukan HAM dalam
kehidupan ketatanegaraan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian
dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil
dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum
nasional khususnya tang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan
instrumen internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini
dilakukan dua tahap, yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan
tahan penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap
status penentuan telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentanh
HAM, seperti amandemen konstitusi negara (UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan
ketentuan perundang-undangan lainnya.
Adapun, tahap penataan aturan secara
konsisten (rule consistent behaviour) mulai dilakukan pada pasa pemerintahan
Presiden BJ. Habibie. Tahap ini ditandai dengan penghormatan dan pemajuan HAM
dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya
(diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan Kejam Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppers
Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penhapusan Kerja Paksa dengan UU
Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan dengan UU Nomor 21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU Nomor 20/1999.
Selain itu, juga dicanangkan program
"Rencana Aksi Nasional HAM" pada tanggal 15 Agustus 1998 didasarkan pada
empat hal sebagai berikut.
-
Persiapan pengesahan perangkat
internasional di bidang HAM.
-
Desiminasi informasi dan pendidikan
bidang HAM.
-
Penentuan skala prioritas pelaksanaan
HAM.
-
Pelaksanaan isi perangkat internasional
di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
DASAR HUKUM HAM DI
INDONESIA
Saat
kita lahir dan muncul pertama kali melihat dunia ini, kita sudah mempunyai HAM.
Apa sih HAM itu? HAM yang mempunyai singkatan yaitu Hak Asasi Manusia ini
adalah merupakan mengandung prinsip moral dan norma-norma yang menggambarkan
dari perilaku manusia, dan dilindungi secara hak-hak hukum dan hak-hak
internasional. Hak Asasi Manusia yang sudah dimiliki dari lahir yang dia sudah
punya, tidak bisa diambil oleh orang siapapun.
ads
Hak
Asasi Manusia adalah merupakan hak dasar dan hak pokok dari sebuah kehidupan
bagi seseorang sendiri. HAM yang mempunyai hak fundamental, yang berarti tidak
bisa dicabut atau diambil dimana saja selama manusia itu masih ada dan berada
dimana saja. Oleh karena itu pemerintah menetapkan dasar hukum HAM yang
terdapat pada undang-undang dasar 1945. Selain itu ada yang mendasari dari
suatu hukum Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia sebagai berikut:
1. Pancasila
Pancasila
yang mempunyai dasar-dasar sebagai pelindung hukum dalam Hak Asasi Manusia
sebagai berikut:
Pengakuan
pancasila dalam HAM mempunyai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.
Pengakuan
pancasila dalam HAM mengetahui bahwa kita sederajat dan sama dalam
mengembangkan kewajiban dan memiliki hak yang sama serta menghormati sesama
manusia tanpa membedakan menurut keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan social, warna kulit, suku dan bangsa.
Mengembangkan
sikap saling mencintai sesamam manusia, sikap tenggang rasa, dan sikap tida
sewenang-wenang terhadap orang lain.
Selalu bekerja sama, hormat menghormati dan
selalu berusaha menolong sesama.
Mengembangkan
sikap berani kepada diri sendiri dan kepada sesama membela kebenaran dan
keadilan serta sikap adil dan jujur.
Menyadari
bahwa manusia sama derajatnya sehingga manusia Indonesia merasa dirinya bagian
dari seluruh umat manusia.
2. Pembukaan UUD 1945
Dalam
pembukaan Indonesia yang bertuliskan “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,
dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Pernyataan ini adalah
kalimat yang merupakan suatu unsur pernyataan universal karena semua bangsa
ingin merdeka. Bahkan, didalam bangsa Indonesia yang merdeka, juga ada rakyat
yang ingin merdeka, yakni bebas dari penindasan oleh penguasa, kelompok atau
manusia lainnya (baca juga: Manfaat UUD Republik Indonesia)
3. Batang Tubuh UUD
1945
Selain
dasar hukum Hak Asasi Manusia terhadap dalam pembukaan, didalam batang tubuh
UUD 1945 juga terdapat dasar HAM, sebagai berikut:
Persamaan
kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1) yaitu
berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Hak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) yaitu berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”
Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul (pasal 28) yaitu berbunyi: “Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Hak
mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan (pasal 28): “(1) Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Kebebasan
memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya itu (pasal 29
ayat 2) yaitu berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Hak
memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal 31 ayat 1) yang berbunyi: “Setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
BAB
XA pasal 28 a s.d 28 j tentang Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang
nomor 39 yang mempunyai dasar perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia yang
mempunyai isi sebagai berikut:
Bahwa
setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati HAM orang lain secara timbal balik.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU.
5. Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Untuk
ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta
memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada
masyarakat, perlu segera dibentuk suatu pengadilan HAM untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM yang berat.
6. Hukum Internasional
tentang HAM yang telah Diratifikasi Negara RI
Hak Asasi Manusia yang mempunyai
pengakuan dari hukum internasional yang telah mendapatkan ratifikasi dari negara
Indonesia sebagai berikut:
Undang- undang republik Indonesia No 5 Tahun
1998 tentang pengesahan (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, ridak manusiawi, atau merendahkan martabat orang
lain.
Undang-undang Nomor 8 tahun 1984 tentang
pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita.
Deklarasi sedunia tentang Hak Asasi Manusia
Tahun 1948 (Declaration Universal of Human Rights).
0 comments:
Post a Comment