A. Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan
strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya,
Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang
berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak
bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi
yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana.
Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi
pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi
pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang
bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu
pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang
rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang
masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang
keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang
dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan
pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak
perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga
tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun).
Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche
School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat
kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa
di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam
penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak
diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari
kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima
menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam
kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk
anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa.
Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah
posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan
semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan
bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh
pendidikan tingkat ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi
anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang
lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan
MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri
maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.
Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi
pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai
lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak
banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial
Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat
SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere
Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk
HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia
adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda.
Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena
pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan
sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya
antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo,
Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial
Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik
etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi
pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain,
pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada
pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak
Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah
tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah
kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari
kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda
sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga
mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan
menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib
diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS,
tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan
MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.
Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada
pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang
cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan
di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang
tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa.
Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat
memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda.
Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang
terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana,
dan standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat
kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya
berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual
menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan
jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme
pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan
guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan
dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh
disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif
bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa
yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan
dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha
memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di
sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya
sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih
lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi
koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya
akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya.
Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa
kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
B.
Pendidikan Pada Masa Sekarang/Era Global
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasaan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan Negara lain. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya
ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun
informal. Oleh karana itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
Negara-negara lain.
Setelah
diamati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya
manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan
bangsa di berbagai bidang. Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di
Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab
rendahnya mutu pendidikan yang akan kami paparkan kali ini adalah masalah
pemerataan pendidikan, masalah mutu pendidikan, masalah efesiensi pendidikan,
dan masalah relevansi pendidkan.
Kondisi
pendidikan masa kini banyak di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Arah pendidikan kurang jelas
2.
Pendidikan sebagai barang mahal , artinya pendidkan yang berbasis hanya
di kategorikan saja tanpa seimbang dengan kenyataannya dan hanya untuk sebagai
bahan bisnis.orang akan tertarik pada sekolah-sekolah yang berbasis,sehingga
biayanya pun pasti mahal, maka sekolah pun dijadikan ajang bisnis.
3.
penyelewengan dana : pihak sekolah berlaku tidak adil atas hak peserta
didiknya,dana untuk keperluan sekolah banyak yang di korupsi oleh para pihak
sekolah,sehingga sistem atau struktur sekolah pun tidak tersalurkan dengan baik
dan banyak kekurangannya.
4.
kualitas dan kuantitas guru yang kurang : guru yang kurang profesional
dalam mengemban pengajarannya dan tidak sesuainya dalam sistem pemberian
pembelajaran.
5.
pendidikan tidak merata
6.
kurang penghargaan pada guru atau dosen
Akibat dari hal tersebut
dikarenakan adanya :
1. politasi pendidikan
2. oper spesialisasi
3. sekularitas pendidikan
0 comments:
Post a Comment