KATA PENGANTAR
Puji dan syukur bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Investigasi Lapangan Untuk Geoteknik berupa laporan tentang “Klasifikasi Massa Batuan”. Laporan ini diajukan sebagai pertanggungjawaban praktik lapangan serta syarat untuk melengkapi tugas-tugas.
Dalam penulisan laporan ini penulis telah banyak mendapat bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis berharap penyusunan laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu, serta menjadi inspirasi untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi kedepannya.
Banda Aceh,10 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... .. 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................... 2
BAB II DASAR TEORI............................................................................................ 3
2.1 Klasifikasi Massa Batuan...................................................................... 3
2.2 Analisis Kestabilan Lereng................................................................. 14
2.3 Rencana Pencegahan Potensi Bahaya................................................. 17
2.4 Kekuatan Batuan (Schmidt Hammer)................................................. 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 18
3.1 Waktu ................................................................................................. 18
3.2 Lokasi ................................................................................................ 18
3.3 Peralatan.............................................................................................. 18
3.4 Tahap Penelitian.................................................................................. 18
3.5 Diagram Alir Penelitian....................................................................... 19
BAB VI PEMBAHASAN......................................................................................... 20
4.1 Pengolahan Orientasi Batuan.............................................................. 20
4.2 Menghitung Spasi Sebenarnya............................................................ 23
4.3 Menghitung Rqd................................................................................. 24
4.4 Perhitungan Data Schmidt Hammer................................................... 25
4.5 Rock Mass Rating .............................................................................. 35
4.6 Analisis Potensi Resiko Longsoran..................................................... 65
4.7 Tindakan Pencegahan ............................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 30
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 30
3.2 Saran........................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 32
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Investigasi geoteknik adalah penyelidikan terhadap tanah dan batuan dengan mencatat atau merekam fakta dari data kondisi ril dilapangan atau mengambil sampel uji utuh dilapangan untuk dilakukan pengukuran di laboratorium sebagai kelanjutan pengukuran di lapangan dengan melakukan peninjauan, percobaan, dan sebagainya, tujuannya adalah memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang peristiwa dan gejala-gejala endogen dan eksogen terhadap tanah dan batuan tersebut , sifat dan karakteristik massa batuan. Dari invetigasi geoteknik itu sendiri melibat berbagai disiplin ilmu yang mendukung kajian dari penyelidikan dilapangan maupun uji dilaboratorium.seperti ilmu geologi, geologi teknik, mekanika tanah, mekanika batuan dan lain-lain. Data geologi teknik, memberikan informasi mengenai kekuatan serta karakteristik lapisan tanah/batuan yang berguna di dalam perencanaan dan penataan ruang.
Di tambang data mengenai kekuatan batuan dan strukturnya adalah salah satu hal penting yang diperhitungkan untuk kestabilan lereng, memahami potensi dan bentuk bidang runtuhan pada lereng tambang. Kestabilan lereng menjadi labil karena kekuatan batuan menurun dan pada massa batuan keterdapatan bidang-bidang diskontinuitas seperti; sesar, perlapisan, dan rekahan. Untuk mereduksi resiko terjadinya bahaya keruntuhan pada lereng yang bisa mengancam keselamatan personal dan kerugian disegi ekonomi maka perlu memonitoring kekuatan batuan dan melakukan pemetaan tubuh batuan pada zona-zona rentan labil kemantapan lereng. Detail-line mapping dilakukan untuk menggambarkan proyeksi rekahan dan kontak yang orientasinya menyebar sepanjang singkapan atau suatu muka tambang. Posisi rekahan yang dihasilkan dalam detail-line mapping diplot pada stereonet untuk dievaluasi. Pendekatan lainnya untuk studi struktur detail dalam pertambangan adalah fracture-set mapping yang dalam hal ini semua rekahan diukur dan dideskripsikan dalam beberapa area tambang kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik tertentu. Kelompok tersebut dideskripsikan dan posisi individualnya diplot pada Schmidt net (equal-area net).
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana karakteristik bidang kontinuitas pada lereng tubuh batuan di Lhoknga , Aceh Besar?
2) Bagaimana kuat tekan batuan pada lereng tubuh batuan di lhoknga, Aceh Besar ?
3) Bagaimanakah Analisis Kestablian Lereng di lhoknga, Aceh Besar ?
1.3 Tujuan
Investigasi lapangan untuk geoteknik ini dimaksudkan yaitu;
1) Melakukan kajian teknis terhadap bidang lemah pada lereng tubuh batuan di Lhoknga, Aceh Besar.sehingga memperoleh hasil informasi geoteknik seperti; nilai kemiringan lereng, Frekuensi atau spasi antar bidang ketidakselarasan yang berdekatan, kemenerusan atau perluasan bidang ketidakselarasan, lebar atau bukaan bidang ketidakselarasan. Gouge atau pengisian antar muka bidang ketidakselarasan,kekasaran permukaan dari muka bidang ketidakselarasan, dan waviness atau lekukan permukaan bidang ketidakselarasan.
2) Melakukan kajian teknis terhadap uji kuat tekan batuan di lapangan (in situ- test)
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Klasifikasi Massa Batuan
Di dalam geoteknik, klasifikasi massa batuan yang pertama diperkenalkan sekitar 60 tahun yang lalu yang ditujukan untuk terowongan dengan penyanggaan menggunakan penyangga baja. Kemudian klasifikasi dikembangkan untuk penyangga non-baja untuk terowongan, lereng, dan pondasi. 3 pendekatan desain yang biasa digunakan untuk penggalian pada batuan yaitu: analitik, observasi, dan empirik. Salah satu yang paling banyak digunakan adalah pendekatan desain dengan menggunakan metode empiric.
Klasifikasi massa batuan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan secara cepat dan tidak ditujukan untuk mengganti studi analitik, observasi lapangan, pengukuran, dan engineering judgement.
2.1.1 Tujuan Klasifikasi Massa Batuan
Tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah untuk:
1) Mengidentifikasi parameter-parameter yang mempengaruhi kelakuan/sifat massa batuan.
2) Membagi massa batuan ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan sifat dan kualitas.
3) Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat karakteristik setiap kelas massa batuan.
4) Menghubungkan berdasarkan pengalaman kondisi massa batuan di suatu tempat dengan kondisi massa batuan di tempat lain.
5) Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik.
6) Menyediakan dasar acuan untuk komuniukasi antara geologist dan engineer.
2.1.2 Jenis-Jenis Klasifikasi Massa Batuan
Dikarenakan kompleknya suatu massa batuan, beberapa penelitian berusaha untuk mencari hubungan antara desain galian batu dengan parameter massa batuan. Banyak dari metode-metode tersebut telah dimodifikasi oleh yang lainnya dan sekarang banyak digunakan untuk penelitian awal atau bahkan untuk desain akhir. Beberapa klasifikasi massa batuan yang dikenal saat ini adalah:
1) Metode klasifikasi beban batuan (rock load)
Metode ini diperkenalkan oleh Karl von Terzaghi pada tahun 1946. Merupakan metode pertama yang cukup rasional yang mengevaluasi beban batuan untuk desain terowongan dengan penyangga baja. Metode ini telah dipakai secara berhasil di Amerika selama kurun waktu 50 tahun. Akan tetapi pada saat ini metode ini sudah tidak cocok lagi dimana banyak sekali terowongan saat ini yang dibangun dengan menggunakan penyangga beton dan rockbolts.
2) Klasifikasi stand-up time
Metode ini diperkenalkan oleh Laufer pada 1958. Dasar dari metode ini adalah bahwa dengan bertambahnya span terowongan akan menyebabkan berkurangnya waktu berdirinya terowongan tersebut tanpa penyanggaan. Metode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan klasifikasi massa batuan selanjutnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stand-up time adalah: arah sumbu terowongan, bentuk potongan melintang, metode penggalian, dan metode penyanggaan.
3) Rock Quality Designation (RQD)
RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan pada penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih. Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung walaupun mempunyai panjang lebih dari 10cm. Diameter inti optimal yaitu 47.5mm. Nilai RQD ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan penyanggaan terowongan. Saan ini RQD sebagai parameter standar dalam pemerian inti pemboran dan merupakan salah satu parameter dalam penentuan klasifikasi massa batuan RMR dan Q-system
RQD didefinisikan sebagai:
RQD =
Berdasarkan nilai RQD massa batuan diklasifikasikan sebagai:
RQD
|
Kualitas massa batuan
|
< 25%
|
Sangat jelek
|
25 – 50%
|
Jelek
|
50 – 75%
|
Sedang
|
75 – 90%
|
Baik
|
90 – 100%
|
Sangat baik
|
Walaupun metode penghitungan dengan RQD ini sangat mudah dan cepat, akan tetapi metode ini tidak memperhitung factor orientasi bidang diskontinu, material pengisi, dll, sehingga metode ini kurang dapat menggambarkan keadaan massa batuan yang sebenarnya.
4) Rock Structure Rating (RSR)
Konsep ini merupakan metode kuantitatif untuk menggambarkan kualitas suatu massa batuan dan menentukan jenis penyanggaan di terowongan. Motode ini merupakan metode pertama untuk menentukan klasifikasi massa batuan yang komplit setelah diperkenalkannya klasifikasi massa batuan oleh Terzaghi 1946.
Konsep RSR ini selangkah lebih maju dibandingkan konsep-konsep yang ada sebelumnya. Pada konsep RSR terdapat klasifikasi kuantitatif dibandingkan dengan Terzaghi yang hanya klasifikasi kulitatif saja. Pada RSR ini juga terdapat cukup banyak parameter yang terlibat jika dibandingkan dengan RQD yang hanya melibatkan kualitas inti terambil dari hasil pemboran saja. Pada RSR ini juga terdapat klasifikasi yang mempunyai data masukan dan data keluaran yang lengkap tidak seperti Lauffer yang hanya menyajikan data keluaran yang berupa stand-up time dan span.
RSR merupakan penjumlahan rating dari parameter-parameter pembentuknya yang terdiri dari 2 katagori umum, yaitu:
· Parameter geoteknik; jenis batuan, pola kekar, arah kekar, jenis bidang lemah, sesar, geseran, dan lipatan, sifat material; pelapukan, dan alterasi.
· Parameter konstruksi; ukuran terowongan, arah penggalian, metode penggalian
RSR merupakan metode yang cukup baik untuk menentukan penyanggaan dengan penyangga baja tetapi tidak direkomendasikan untuk menentukan penyanggaan dengan penyangga rock bolt dan beton.
5) Q-system
Q-system diperkenalkan oleh Barton et al pada tahun 1974. Nilai Q didefinisikan sebagai:
Dimana:
RQD adalah Rock Quality Designation
Jn adalah jumlah set kekar
Jr adalah nilai kekasaran kekar
Ja adalah nilai alterasi kekar
Jw adalah faktor air tanah
SRF adalah faktor berkurangnya teganga
• RQD/Jn merepresentasikan struktur massa batuan
• Jr/Ja merepresentasikan kekasaran dan karakteritik gesekan diantara bidang kekar stsu material pengisi
• Jw/SRF merepresentasikan tegangan aktif yang bekerja
• Berdasarkan nilai Q kemudian dapat ditentukan jenis penyanggaan yang dibutuhkan untuk terowongan.
6) Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR). Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini telah mengalami penyesuaian dikarenakan adanya penambahan data masukan sehingga Bieniawski membuat perubahan nilai rating pada parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi massa batuan tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). 6 Parameter yang digunakan dalam klasifikasi massa batuan menggunakan Sistim RMR yaitu:
a) Kuat tekan uniaxial batuan utuh.
Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh (intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan point load index merupakan kekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel, pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai point load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa.
Pada perhitungan nilai RMR, parameter kekuatan batuan utuh diberi bobot berdasarkan nilai UCS atau nilai PLI-nya seperti tertera pada tabel dibawah ini.
b) Rock Quality Designatian (RQD).
c) Spasi Bidang Dikontinyu.
Jarak antar (spasi) kekar didefinisikan sebagai jarak tegak lurus antara dua kekar berurutan sepanjang garis pengukuran yang dibuat sembarang. Sementara Sen dan Eissa (1991) mendefinisikan spasi kekar sebagai suatu panjang utuh pada suatu selang pengamatan. Menurut ISRM, jarak antar (spasi) kekar adalah jarak tegak lurus antara bidang kekar yang berdekatan dalam satu set kekar.
Pada perhitungan nilai RMR, parameter jarak antar (spasi) kekar diberi bobot berdasarkan nilai spasi kekar-nya seperti tertera pada tabel dibawah ini.
d) Kondisi bidang diskontinyu.
Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar, meliputi kemenerusan (persistence), jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture), kekasaran kekar (roughness), material pengisi (infilling/gouge), dan tingkat kelapukan (weathering). karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
· Roughness
Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang diskontinu.
· Separation
Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material ) atau bisa juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut.
· Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.
· Weathering
Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu.
· Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.
e) Kondisi air tanah.
Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
· Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air yang teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.
· Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.
· General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara visual, sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan umum dari permukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir.
Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar diidentifikasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering (completely dry), lembab (damp), basah (wet), terdapat tetesan air (dripping), atau terdapat aliran air (flowing). Pada perhitungan nilai RMR, parameter kondisi air tanah (groundwater conditions) diberi bobot berdasarkan tabel dibawah ini.
f) Orientasi/arah bidang diskontinyu.
Parameter ini merupakan penambahan terhadap kelima parameter sebelumnya. Bobot yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung pada hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu dalam perhitungan, bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari lima parameter lainnya.
Orientasi bidang diskontinu yaitu kedudukan dari bidang diskontinu yang meliputi arah dan kemiringan bidang. Arah dan kemiringan dari bidang diskontinu biasanya dinyatakan dalam (Strike/Dip) atau (Dip Direction/Dip).
· Strike (jurus)
Merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang diskontinu yang miring. Arah ini diukur dari utara searah jarum jam ke arah garis horizontal tersebut.
· Dip Direction
Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang diskontinu. Dip Direction (DDR) diukur dari North searah jarum jam ke arah penunjaman tersebut atau sama dengan 90 derajat dari strike searah jarum jam ke arah penunjaman.
DDR = Strike + 90
· Dip (kemiringan bidang)
Dip adalah sudut yang diukur dari bidang horizontal ke arah kemiringan bidang diskontinu.
Lima parameter pertama mewakili parameter dasar dari sistem klasifikasi ini. Nilai RMR yang dihitung dari lima parameter dasar tadi disebut RMR basic. Hubungan antara RMRbasic dengan RMR ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
RMR = RMRbasic + penyesuaian terhadap orientasi kekar
dimana,
RMRbasic = ∑ parameter (a+b+c+d+e)
Setelah nilai bobot masing-masing parameter-parameter diatas diperoleh, maka jumlah keseluruhan bobot tersebut menjadi nilai total RMR. Nilai RMR ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas dari massa batuan. Tabel untuk nilai RNR dapat dilihat pada tabel seperti dibawah ini.
Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap setiap bidang diskontinu yang ada (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari lima parameter akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum memperhitungkan orientasi bidang diskontinu.
Adjusment terhadap orientasi bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada aplikasi engineering-nya, seperti terowongan, chamber, lereng atau fondasi (Edelbro, 2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu. Pada Penelitian ini RMR akan diaplikasikan pada kestabilan lereng.
2.1.3 Keuntungan Klasifikasi Massa
Keuntungan dari digunakannya klasifikasi massa batuan:
1) Meningkatkan kualitas penyelidikan lapangan berdasarkan data masukan sebagai parameter klasifikasi.
2) Menyediakan informasi kuantitatif untuk tujuan desain.
3) Memungkinkan kebijakan teknik yang lebih baik dan komunikasi yang lebih efektif pada suatu proyek.
2.2 Analisis Kestabilan Lereng
2.2.1 Tipe-Tipe Longsoran
Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan yaitu :
1) Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran jenis ini akan terjadi jika kondisi di bawah ini terpenuhi :
a. Jurus (strike) bidang luncur mendekati pararel terhadap jurus bidang permukaan lereng (perbedaan maksimum 200).
b. Kemiringan bidang luncur (Ļp) harus lebih kecil daripada kemiringan bidang permukaan lereng (Ļf).
c. Kemiringan bidang luncur (Ļp) lebih besar daripada sudut geser dalam (Ļ).
d. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah yang longsor.
2) Longsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng. Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal (single sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang.
Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua bidang lemah (Ļfi > Ļi).
b. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya (Ļfi > Ļ).
3) Longsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan yang keras di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom. Longsoran jenis ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan lereng.
Longsoran guling pada blok fleksibel terjadi jika :
a. Ī² > 900 + Ļ – Ī±, di mana Ī² = kemiringan bidang lemah, Ļ = sudut geser dalam dan Ī± = kemiringan lereng.
b. Perbedaan maksimal jurus (strike) dari kekar (joint) dengan jurus lereng (slope) adalah 300
.
4) Longsoran Busur (Circular Failure)
Longsoran busur umumnya terjadi pada material yang bersifat lepas(loose material) seperti material tanah. Sesuai dengan namanya, bidang longsorannya berbentuk busur. Batuan hancur yang terdapat pada suatu daerah penimbunan dengan dimensi besar akan cenderung longsor dalam bentuk busur lingkaran (Hoek & Bray, 1981). Pada longsoran busur yang terjadi pada daerah timbunan, biasanya factor struktur geologi tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan lereng timbunan. Pada umumnya, kestabilan lereng timbunan bergantung pada karakteristik material, dimensi lereng serta kondisi air tanah yang ada serta faktor luar yang mempengaruhi kestabilan lereng pada lereng timbunan.
2.3 Rencana Pencegahan Potensi Bahaya
2.4 Kekuatan Batuan (Schmidt Hammer)
2.3.1 Cara Menggunakan Schmidt Hammer
1) Tekan tombol kuncian sambil melakukan impact ke tembok, agar plunger keluar.
2) Gunakan grindstone untuk menghaluskan tembok / concrete yang akan diuji.
3) Lakukan impact pada tembok / concrete yang akan diuji. Sesuai kondisi tembok, impact bisa dilakukan dengan horizontal, vertical ke atas, ataupun ke bawah.
4) Angka yang ditunjukkan jarum adalah Nilai Rebound (R) Hammer Test dan dapat dikonversi menjadi nilai impact kg/cm2 dengan grafik konversi yang ada di genggaman alat tersebut, sesuai arah impact (horizontal, vertical ke atas / ke bawah).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 WAKTU
Waktu pelaksanaan survey diskontinuitas untuk klasifikasi batuan adalah pada hari minggu tanggal 31 Mei 2015 dimulai pukul 10.00 – 14.00 WIB
3.2 LOKASI
Lokasi pelaksanaan survey diskontinuitas untuk klasifikasi batuan adalah Kecamatan Lhok Nga, kabupaten Aceh Besar.
3.3 PERALATAN
Adapun peralatan yang digunakan pada pelaksanaan survey diskontinuitas untuk klasifikasi batuan adalah meteran, kompas geologi, schmidt hammer, serta alat pelindung diri.
3.4 TAHAP PENELITIAN
1) Pasangkan meteran sepanjang lereng yang akan disurvey. Meteran tersebut akan /menjadi pedoman jarak dan lintasan yang di Scan (Scon ilne). Pemasangan meteran di lereng batu bisa menggunakan paku beton setinggi mata dari lantai jenjang. Panjang Scan line 5 meter.
2) Setelah meteran yang menjadi Scan/line terpasang dengan bagus, lakukan proses pengambilan jarak antar kekar dengan mencatatnya di tabel yang sudah disediakan.
3) Lakukan pengambilan data orientasi bidang diskontinultas menggunakan Kompas Geologi. Data yang diambil adalah arah kemiringan (dip direction) dan nilai kemiringan (dip angle).
4) Ambil juga data kondisi bidang diskontinuitas berupaKemenerusan/Persistence
- Kekasaran/Roughness
- Bukaan/Aperture
- lsian/lnfilling
- Luahan Air/Seepage
- Derajat Pelapukan
5) Lakukan proses nomor 2 s/d nomor4 pada setiap bidang diskontinuitas sepanjang Scan line.
6) Lakukan pengukuran Schmidt Hammer untuk memperkirakan nilai kekuatan batuan di lereng yang diukur. Pengukuran Schmidt Hammer dilakukan pada batuan utuh atau tidak terdapat kekarfoint. Grafik konversi dari nilai Schmidt Hammer kekekuatan batuan.
3.5 DIAGRAM ALIR PENELITIAN
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengolahan Orientasi
Batuan
4.1.1
Pengolahan Data Orientasi Batuan dengan Software
Stereonet
1)
Data yang diperlukan
dalam proses ini adalah data dip dan dip direction dari setiap bidang
perlapisan. Adapun data-data yang telah diambil di lapangan tersebut dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :
2)
Data-data
dip dan dip direction tersebut di input kedalam software Stereonet 246
dengan memasukkan nilai azimuth dan dip kedalam kolom kosong dan menekan tombol
add
3)
Setelah
memasukkan semua nilai dip dan dip direction tersebut dan telah memiliki hasil
seperti dibawah ini :
klik tombol ini
Untuk
memunculkan tampilan :
Dari hasil
tersebut dapat kita lihat hanya terdapat 1 joint set (keluarga joint dengan
nilai dip direction/dip adalah 330°/42° dalam bentuk pole. Untuk mengkonversikannya ke dalam planar agar dapat
diolah lebih lanjut dengan stereonett windows
Dip Direction - 180 = 330 - 180 = 150
90 - Dip = 90 - 42 = 48
Jadi untuk joint set dalam planar
memiliki nilai Dip Direction/Dip 150/80
4)
Setelah
menpatkan nilai orientasi planar joint set, untuk mengolah data lebih lanjut dengan
menggunakan software stereonett windows dip direction harus diubah terlebih
dahulu menjadi strike dengan mengurangi dip direction dengan 90o.
150-90=60o
Begitupula
dengan data arah kemiringan lereng yakni 255o
255-90= 165o
5)
Masukkan nilai
strike/dip joint set dan strike/dip tebing padasoftware streonet.
6)
Sehingga muncul
tampilan
4.2 Menghitung
Spasi Sebenarnya
|
Untuk mengetahui Spasi
sebenarnya pada bidang diskontinuitas, hal yang harus diketahui terlebih dahulu
adalah sudut antara scanline dan sudut jurus joint set (Ī±). Sudut scanline
adalah sudut jurus tebing yakni 165o
sedangkan sudut jurus joint set adalah 60o.
Selisih antara keduanya adalah 165-60=105
Sehingga didapatlah sudut Ī± sebesar 105°.
Tahap
selanjutnya yaitu mencari jarak Spasi Semu Bidang.
Rumusnya
adalah sebagai berikut.
Lalu hasil perhitungannya
Selanjutnya
mengjitung jarak spasi sebenarnya dengan rumus:
Spasi
sebenarnya = Xp Sin Ī± Sin Īø
Keterangan :
Xp = Nilai spasi semu
Ī± = Sudut antara scanline dengan jurus
joint set
Īø = Sudut kemiringan joint set
Spasi sebenarnya = Xp Sin Ī± Cos Īø
Spasi sebenarnya = 0.4 Sin 105 Sin 48
Spasi sebenarnya = 0,287
Dengan
spasi 0.287 m, maka batuan ini termasuk dalam kategori sedang atau moderate dan
memiliki bobot 10 dalam klasifikasi RMR.
4.2 Menghitung
RQD
RQD didefinisikan sebagai:
RQD =
Adapun panjang bidang perlapisan yang lebih dari 10 cm
adalah 12
15, 18, 18, 20, 20, 20, 20, 20, 25, 26, 30, 30,30, 32,
40,40,40,45,50,50,50,55,57,60,69,87,87,88,89,93,130 dengan hasil penjumlahan
panjang-panjang tersebut adalah 1466
RQD=
Massa batuan ini termasuk sangat baik (excellent) dan pada klasifikasi
Rock Mass Rating memiliki bobot 20
4.4
Pengolahan Data Schmidt Hammer
Pengolahan
data ini bertujuan untuk mendapatkan konversi pada pengujian menggunakan
Schmidt Hammer tipe N/NR. Pada tahap ini menggunakan bantuan Ms.Excel untuk
memplotkan nilai Rebound yang kita hasilkan dari lapangan dan nilai tahanan
tekanan rata-rata yang mengacu pada kurva yang telah ada.
Gambar
1. Kurva konversi Schmidt Hammer Tipe N/NR
Pada
gambar diatas terdapat tiga gurva yang berbeda berdasarkan pada arah penggunaan
Schmidt Hammer, vertical ke atas, vertical ke bawah, dan horizontal. Pengujian
yang kita lakukan dilapangan adalah pengujian dengan menggunakan arah
horizontal. Oleh karena itu, kurva yang perlu dilihat adalah kurva yang arah
horizontal (kurva yang berada ditengah) dan memasukkan nilai dari kurva
tersebut ke dalam Ms. Excel. Sesuai kurva diatas maka didapatkan nilai seperti
dibawah ini, yaitu :
Rebound Value
|
fck.cyl.m
|
22
|
10
|
24
|
13
|
26
|
15
|
28
|
17
|
30
|
20
|
32
|
23
|
34
|
26
|
36
|
29
|
38
|
31
|
40
|
34
|
42
|
37
|
44
|
40
|
46
|
44
|
48
|
47
|
50
|
50
|
52
|
53
|
54
|
57
|
Nilai
yang telah didapatkan dari kurva tersebut kemudian dimasukkan ke Ms.Excel untuk
mendapatkan kurva seperti gambar dibawah ini.
Gambar
2. Kurva konversi Schmidt Hammer Tipe N/NR yang didapat dari Ms.Excel
Dari
kurva diatas bisa didapatkan fungsi persamaan kuadrat, yaitu: y = 0,008x2 +
0,811x - 11,82. Dari kurva kita dapat menghitung nilai tahanan tekanan
rata-rata dari data yang didapatkan selama pengujian di lapangan. Berikut
merupakan data nilai Rebound selama pengujian pada daerah Lhoknga di 12 titik
sampel pada jarak 0 m sampai 30 m dan data diambil oleh 6 Kelompok.
·
JARAK
0 M SAMPAI 5 M.
Pada jarak 0 m
sampai 5 m, data diambil oleh Kelompok 4. Data nilai Rebound pada daerah
Lhoknga pada jarak 0 m sampai 5 m diperlihatkan pada tabel berikut:
Kelompok 4
|
||
No.
|
Sampel A 3,7 m
|
Sampel B 4,2 m
|
1
|
40
|
50
|
2
|
42
|
51
|
3
|
41
|
50
|
4
|
40
|
50
|
5
|
40
|
52,5
|
6
|
44
|
57
|
7
|
42
|
51
|
8
|
42
|
50
|
9
|
40
|
51
|
10
|
49
|
50
|
11
|
42,3
|
50
|
12
|
41,5
|
50,5
|
Nilai rata-rata
Rebound pada jarak 3,7 m adalah sebesar 49,9167. Dengan menggunakan fungsi
persamaan dari kurva konversi Schmidt Hammer maka:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y =
0,008(49,9167)2 + 0,811(49,9167) - 11,82.
y = 48,59581
Dan nilai
rata-rata Rebound pada jarak 4,2 m adalah 46,0833, sehingga didapatkan:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y =
0,008(46,0833)2 + 0,811(46,0833) - 11,82.
y = 42,54297
Berikut
merupakan tabel hasil perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m)
dalam N/mm2.
No.
|
Jarak (m)
|
Rata-rata
|
fck.cyl.m
|
1
|
26
|
49,9167
|
48,59581
|
2
|
27,2
|
46,0833
|
42,54297
|
·
JARAK
5 M SAMPAI 10 M.
Pada jarak 5 m sampai 10 m, data diambil oleh
Kelompok 5. Data nilai Rebound pada daerah Lhoknga pada jarak 5 m sampai 10 m
diperlihatkan pada tabel berikut:
Kelompok 5
|
||
No.
|
Sampel A 7m
|
Sampel B 10m
|
1
|
44
|
46
|
2
|
43
|
44
|
3
|
46
|
46
|
4
|
43
|
40
|
5
|
49
|
45
|
6
|
42
|
42
|
7
|
42
|
44
|
8
|
41
|
40
|
9
|
44
|
42
|
10
|
46
|
40
|
11
|
44
|
45
|
12
|
44
|
43
|
Nilai rata-rata Rebound pada jarak 7 m adalah sebesar 44. Dengan menggunakan fungsi persamaan dari kurva konversi Schmidt Hammer maka didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(44)2 +
0,811(44) - 11,82.
y =
39,352
Sedangkan nilai rata-rata Rebound
pada jarak 10 m adalah 43,08333333,
sehingga didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(43,08333333)2
+ 0,811(43,08333333) - 11,82.
y = 37,96998
Maka berikut merupakan tabel hasil
perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m) dalam N/mm2.
No.
|
Jarak (m)
|
Rata-rata
|
fck.cyl.m
|
1
|
7
|
44
|
39,352
|
2
|
10
|
43,08333
|
37,96998
|
·
JARAK
11 M SAMPAI 15 M.
Pada jarak 11 m sampai 15 m, data
diambil oleh Kelompok 6. Data nilai Rebound pada daerah Lhoknga pada jarak 11 m
sampai 15 m diperlihatkan pada tabel berikut:
Nilai rata-rata Rebound pada jarak
7 m adalah sebesar 44. Dengan menggunakan fungsi persamaan dari kurva konversi
Schmidt Hammer maka didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(44)2 +
0,811(44) - 11,82.
y =
39,352
Sedangkan nilai rata-rata Rebound
pada jarak 10 m adalah 43,08333333,
sehingga didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(43,08333333)2
+ 0,811(43,08333333) - 11,82.
y = 37,96998
Maka berikut merupakan tabel hasil
perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m) dalam N/mm2.
·
JARAK
16 M SAMPAI 20 M.
Pada jarak 16 m sampai 20 m, data diambil oleh
Kelompok 1. Data nilai Rebound pada daerah Lhoknga pada jarak 16 m sampai 20 m
diperlihatkan pada tabel berikut:
NO
|
Sampel 17 (Mpa)
|
Sampel 18
(Mpa)
|
1
|
42
|
48
|
2
|
44
|
44
|
3
|
44
|
41
|
4
|
44
|
45
|
5
|
47
|
44
|
6
|
42
|
44
|
7
|
43
|
40
|
8
|
44
|
40
|
9
|
41
|
40
|
10
|
42
|
45
|
11
|
39
|
40
|
12
|
42
|
40
|
rata-rata
|
42,83
|
42,58
|
±6
|
36,83-48,83
|
36,58-48,58
|
Nilai rata-rata
Rebound pada jarak 17 m adalah sebesar
42,83. Dengan menggunakan fungsi persamaan dari kurva konversi Schmidt Hammer
maka didapatkan:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y = 0,008(42,83)2
+ 0,811(42,83) - 11,82.
y = 37,59
Sedangkan nilai
rata-rata Rebound pada jarak 18 m adalah 42,58,
sehingga didapatkan:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y = 0,008(42,58)2
+ 0,811(42,58) - 11,82.
y = 37,216
Maka berikut
merupakan tabel hasil perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m)
dalam N/mm2.
No.
|
Jarak (m)
|
Rata-rata
|
fck.cyl.m
|
1
|
17
|
42,83
|
37,59
|
2
|
18
|
42,58
|
37,216
|
·
JARAK
21 M SAMPAI 25 M.
Pada
jarak 21 m sampai 25 m, data diambil oleh Kelompok 2. Data nilai Rebound pada
daerah Lhoknga pada jarak 21 m sampai 25 m diperlihatkan pada tabel berikut:
Kelompok 2
|
||
No.
|
Sampel A 23,9 m
|
Sampel B 24,5 m
|
1
|
50
|
50
|
2
|
44
|
50
|
3
|
48
|
52
|
4
|
44
|
53
|
5
|
52
|
52
|
6
|
47
|
54
|
7
|
47
|
48
|
8
|
48
|
53
|
9
|
52
|
48
|
10
|
49
|
52
|
11
|
52
|
54
|
12
|
47
|
52
|
Nilai rata-rata Rebound pada
jarak 23,9 m adalah sebesar 48,33333333.
Dengan menggunakan fungsi persamaan dari kurva konversi Schmidt Hammer maka
didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(48,33333333)2
+ 0,811(48,33333333) - 11,82.
y =
46.067
Sedangkan nilai rata-rata Rebound
pada jarak 24.5 m adalah 51.5
sehingga didapatkan:
y = 0,008x2 + 0,811x -
11,82.
y = 0,008(51.5)2
+ 0,811(51.5) - 11,82.
y = 51,1645
Maka berikut merupakan tabel hasil
perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m) dalam N/mm2.
No.
|
Jarak (m)
|
Rata-rata
|
fck.cyl.m
|
1
|
23,9
|
48,33333
|
46,06722
|
2
|
24,5
|
51,5
|
51,1645
|
·
JARAK
26 M SAMPAI 30 M.
Pada
jarak 26 m sampai 30 m, data diambil oleh Kelompok 3. Data nilai Rebound pada
daerah Lhoknga pada jarak 26 m sampai 30 m diperlihatkan pada tabel berikut:
Kelompok 3
|
||
No.
|
Sampel A 26 m
|
Sampel B 27,2 m
|
1
|
53
|
45
|
2
|
49
|
49
|
3
|
50
|
50
|
4
|
48
|
46
|
5
|
54
|
42
|
6
|
46
|
40
|
7
|
54
|
44
|
8
|
51
|
44
|
9
|
51
|
50
|
10
|
47
|
43
|
11
|
50
|
50
|
12
|
46
|
50
|
Nilai rata-rata
Rebound pada jarak 26 m adalah sebesar 49,9167. Dengan menggunakan fungsi
persamaan dari kurva konversi Schmidt Hammer maka didapatkan:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y =
0,008(49,9167)2 + 0,811(49,9167) - 11,82.
y = 48,59581
Sedangkan nilai
rata-rata Rebound pada jarak 27,2 m adalah 46,0833, sehingga didapatkan:
y = 0,008x2
+ 0,811x - 11,82.
y =
0,008(46,0833)2 + 0,811(46,0833) - 11,82.
y = 42,54297
Maka berikut
merupakan tabel hasil perhitungan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m)
dalam N/mm2.
No.
|
Jarak (m)
|
Rata-rata
|
fck.cyl.m
|
1
|
26
|
49,9167
|
48,59581
|
2
|
27,2
|
46,0833
|
42,54297
|
Berikut merupakan tabel hasil perhitungan nilai
tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m) pada jarak 0 m sampai dengan 30 m dalam
N/mm2.
Dari hasil perhitungan nilai tahanan
tekanan rata-rata (fckcyl.m) maka dapat diketahui kekerasan batuan, skala Mohs
dan endapan mineral yang terdapat pada batuan dengan jarak 0 m sampai 30 m.
Nilai tahanan tekanan rata-rata
(fckcyl.m) pada jarak 0 m sampai 30 m berkisar antara 36,32 MPa sampai 52 MPa.
Berdasarkan tabel maka kekerasan batuan secara keseluruhan adalah cukup lunak
dengan kekerasan skala Mohs nya berkisar antara 3 – 4,5.
Dan berdasarkan tabel skala Mohs di atas
dapat diketahui endapan mineral yang terdapat pada batuan secara keseluruhan
pada lapangan. Dan endapan mineral pada batuan tersebut adalah mineral calcite
dan flourite.
Dikarenakan nilai tahanan tekanan rata-rata (fckcyl.m
berkisar antara 36,32 MPa sampai 52 Mpa maka bobot kekerasan untuk batuan ini adalah 4 dengan
deskripsi kualitatif sedang (average)
4.5 Rock Mass
Rating
4.1.1
Rating Batuan
1)
BD01
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 1, karena panjang kekar nya 10-20 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara < 5mm. Oleh karena itu, pada
bidang diskontinu ini diberi bobot 0.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah > 5 mm. Oleh karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot
0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat kelapukan permukaan diskontinu ini adalah
pelapukan sedang. Dikarenakan lunturan
meluas dari bidang diskontinuitas lebih besar dari 20% daripada spasi.Bidang
diskontinuitas dapat terisi dari hasil alterasi mineral dan mungkin dapat
ditemukan batas butiran yang terbuka.Dan bobot nya adalah 3.
2) BD02
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 1, karena panjang kekar nya 10-20 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan
ini adalah berkisar antara < 5mm. Oleh karena itu, pada bidang diskontinu
ini diberi bobot 0.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah > 5 mm. Oleh karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot
0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat kelapukan permukaan diskontinu ini adalah
pelapukan sedang. Dikarenakan lunturan
meluas dari bidang diskontinuitas lebih besar dari 20% daripada spasi.Bidang
diskontinuitas dapat terisi dari hasil alterasi mineral dan mungkin dapat
ditemukan batas butiran yang terbuka.Dan bobot nya adalah 3.
3) BD03
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 1, karena panjang kekar nya 10-20 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara < 5mm. Oleh karena itu, pada
bidang diskontinu ini diberi bobot 0.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah > 5 mm. Oleh karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot
0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15.
f. Parameter Pelapukan
Derajat kelapukan permukaan diskontinu ini adalah
pelapukan sedang. Dikarenakan lunturan
meluas dari bidang diskontinuitas lebih besar dari 20% daripada spasi.Bidang
diskontinuitas dapat terisi dari hasil alterasi mineral dan mungkin dapat
ditemukan batas butiran yang terbuka.Dan bobot nya adalah 3.
4) BD04
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 2, karena panjang
kekar nya 3-10 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara < 5mm. Oleh karena itu, pada
bidang diskontinu ini diberi bobot 0.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah > 5 mm. Oleh karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot
0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat kelapukan permukaan diskontinu ini adalah
pelapukan ringan. Dikarenakan bidang diskontinuitas
ternoda atau luntur dan dapat terisi oleh isian tipis hasil dari alterasi
material.Lunturan tadi dapat meluas dari permukaan diskontinuitas sampai ke
dalam batuan dengan jarak sampai 20 % daripada spasi diskontinuitas..Dan bobot
nya adalah 5.
5) BD05
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 1, karena panjang
kekar nya 10-20 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara 0,1 – 1 mm. Oleh karena itu, pada
bidang diskontinu ini diberi bobot 4.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah
> 5 mm.
Oleh karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot 0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat
kelapukan permukaan diskontinu ini adalah pelapukan ringan. Dikarenakan
bidang diskontinuitas ternoda atau luntur dan dapat terisi oleh isian tipis
hasil dari alterasi material.Lunturan tadi dapat meluas dari permukaan
diskontinuitas sampai ke dalam batuan dengan jarak sampai 20 % daripada spasi
diskontinuitas..Dan bobot nya adalah 5.
6)
BD06
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 2, karena panjang kekar nya 3-10 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara >
5 mm. Oleh karena itu, pada bidang diskontinu ini
diberi bobot 0.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu tidak
ada. Oleh
karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot 0.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat
kelapukan permukaan diskontinu ini adalah pelapukan ringan. Dikarenakan
bidang diskontinuitas ternoda atau luntur dan dapat terisi oleh isian tipis
hasil dari alterasi material.Lunturan tadi dapat meluas dari permukaan
diskontinuitas sampai ke dalam batuan dengan jarak sampai 20 % daripada spasi
diskontinuitas..Dan bobot nya adalah 5
7)
BD07
a. Parameter Kemenerusan/Persistensi
Kemenerusan dari bidang diskontinu atau juga panjang dari bidang
diskontinu ini adalah 2, karena panjang kekar nya 3-10 m.
b. Parameter Kekasaran/Roughness
Kekasaran permukaan
bidang diskontinu ini adalah 5, karena Bergelombang,
permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar
c. Parameter Separation/Bukaan
Jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu pada
bidang perlapisan ini adalah berkisar antara 1-
5 mm. Oleh karena itu, pada bidang diskontinu ini
diberi bobot 1.
d. Parameter
Isian/Filling
Filling atau material pengisi antara dua
permukaan bidang diskontinu adalah
< 5 mm. Oleh
karena itu, bidang perlapisan ini diberi bobot
2.
e. Parameter Luahan Air
Kondisi air tanah yang ditemukan pada
pengukuran bidang
perlapisan diidentifikasikan memiliki kondisi kering.
Oleh karena itu, untuk luahan air bidang diskontinuitas ini diberi bobot 15
f. Parameter Pelapukan
Derajat
kelapukan permukaan diskontinu ini adalah pelapukan ringan. Dikarenakan
bidang diskontinuitas ternoda atau luntur dan dapat terisi oleh isian tipis
hasil dari alterasi material.Lunturan tadi dapat meluas dari permukaan
diskontinuitas sampai ke dalam batuan dengan jarak sampai 20 % daripada spasi
diskontinuitas..Dan bobot nya adalah 5
0 comments:
Post a Comment