Monday 18 September 2017

HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA |KASUS PELANGGARAN HAM, PERUNDANGAN DAN KEMAJUAN HAM, DASAR HUKUM HAM DI INDONESIA)

KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
1. Pembantaiaan Rawagede

Pembantaian Rawagede merupakan pelanggaran HAM yang terjadi penembakan dan pembunuhan penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh tentara Belanda tanggal 9 Desember 1945 bersamaan dengan Agresi Militer Belanda I. Akibatnya puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Tanggal 14 September 2011, Pengadilan Den Haaq menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi (kompensasi) kepada keluarga korban pembantaian Rawagede.
2. Kasus Pembunuhan Munir

Munir Said Thalib merupakan aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang pada 8 Desember 1965. ia meninggal pada 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika Munir sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di dalam pesawat karena serangan jantung, dibunuh, bahkan diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracun menggunakan Arsenikum di makanan atau minumannya saat ia merada di dalam pesawat.
Kasus ini sampai sekarang masih belum ada titik temu, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty Internasional dan tengah diproses. kemudian pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto selaku Pilot pesawat yang ditumpangi munir dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir, karena dengan sengaja Pollycarpus menaruh Arsenik di makanan Munir sehingga ia meninggal di pesawat.
3. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah

Kasus Marsinah terjadi pada 3-4 Mei 1993. Seorang pekerja dan aktivitas wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim. Peristiwa ini berawal dari aksi mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka menuntun kepastian pada perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo tersebut, Marsinah malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Penyelidikan masih belum menemukan titik terang hingga sekarang.
4. Penculikan Aktivis (1997/1998)
Kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23 aktivis pro-demokrasi diculik. Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa dan menghilang, meskipun ada satu yang terbunuh. 9 aktivis dilepaskan dan 13 aktivis lainnya masih belum diketahui keberadaannya sampai kini. Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan disiksa oleh para anggota militer.

5. Peristiwa Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Peristiwa ini dipicu oleh warga sekitar yang melakukan demonstrasi pada pemerintah dan aparat yang hendak melakukan pemindahan makam keramat Mbah Priok. Para warga yang menolak dan marah kemudian melakukan unjuk rasa, hingga memicu bentrok antara warga dengan anggota polisi dan TNI. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
6. Penembakan Misterius (Petrus)
Diantara tahun 1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering menganggu ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun kemungkinan pelakunya adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam). Kasus ini termasuk pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas karena ditembak.
7. Kasus Bulukumba
Kasus Bulukumba merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003. Dilatar belakangi oleh PT. London Sumatra (Lonsum) yang melakukan perluasan area perkebunan, namun upaya ini ditolak oleh warga sekitar. Polisi Tembak Warga di Bulukumba. Anggota Brigade Mobil Kepolisian Resor Bulukumba, Sulawesi Selatan, dilaporkan menembak seorang warga Desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Senin (3 Oktober 2011) sekitar pukul 17.00 Wita. Ansu, warga yang tertembak tersebut, ditembak di bagian punggung. Warga Kajang sejak lama menuntut PT London mengembalikan tanah mereka.
8. Pembantaian Massal Komunis (PKI) 1965
Pembantaian ini merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan anggotanya yang berjumlah jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi dengan menangkap anggota komunis, menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

9. Pembantaian Santa Cruz
Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh militer (anggota TNI) dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur pada 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil yang sedang menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh anggota militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan warga sipil mengalami luka-luka bahkan ada yang meninggal. Banyak orang menilai bahwa kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan melakukan agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin keluar dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
10. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi
Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi sedang marak maraknya terjadi praktek dukun santet di desa desa. Warga sekitar yang berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan serta pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun santet pun dibunuh tanpa peradilan, ada yang dibacok, dipancung bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang beruntung masih selamat dari amukan warga.
11. Peristiwa 27 Juli (1996)
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996. Massa mulai melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas. Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas HAM, dalam peristiwa ini telah terbukti terjadinya pelanggaran HAM.
12. Kasus Penganiayaan Wartawan Udin (1996)
Kasus penganiayaan dan terbunuhnya Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin)terjadi di yogyakarta 16 Agustus 1996. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986. Udin adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
13. Tragedi Semanggi I dan II
Tragedi Semanggi merupakan peristiwa protes masyarakat kepada pelaksanaan serta agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil, kejadian yang pertama di kenal dengan nama Tragedi Semanggi I yang terjadi pada tanggal 13 November 1998. Dalam kasus ini 5 orang korban meninggal, yaitu Teddy Mahdani K, Bernadus Irmawan, Muzamil Joko P, Abdullah dan Sigit Prasetyo. Kemudian kejadian kedua di kenal dengan nama Tragedi semanggi II yang terjadi pada tanggal 24 September 1999 yang memakan 5 orang korban meninggal yaitu Salim Ternate, Denny Yulian, Yap Yun Hap, Zainal dan Fadli.
14. Pelanggaran HAM di Daerah Operasi Militer (DOM), Aceh
Terjadi pada tahun 1976-1989, memakan banyak ribuan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi semenjak dideklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan itensitas kekerasan yang tinggi.
15. Tragedi Trisakti
Peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, pada saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur dari jabatannya. Dalam kasus ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti diantaranya : Hendrawan Sie (1975-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Elang Mulia Lesmana (1978-1998) dan Hafidin Royan (1976-1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
16. Peristiwa Abepura, Papua
Peristiwa ini terjadi di Abepura, Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Abepura.
17.Pelanggaran HAM di Indonesia – Bom bali
Peristiwa ini terjadi pada tahun 2002. Sebuah bom diledakkan di kawasan Legian Kuta, Bali oleh sekelompok jaringan teroris.Kepanikan sempat melanda di penjuru Nusantara akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga banyak memicu tindakan terorisme di kemudian hari.Peristiwa bom bali menjadi salah satu aksi terorisme terbesar di Indonesia. Akibat peristiwa ini, sebanyak ratusan orang meninggal dunia, mulai dari turis asing hingga warga lokal yang ada di sekitar lokasi
18. kasus Salim Kancil
Peristiwa pada tahun 2015 Berawal mula dari penambangan pasir Pantai Watu Pecak ilegal, aktivis mencoba menghentikan penambangan tersebut namun.Beberapa Gerombolan mengikat tangan Salim dan membawanya ke Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 km dari rumahnya dengan cara diseret. Selain dipukuli, digergaji lehernya, Salim juga diestrum. Kejadian terjadi kurang lebih setengah jam, hingga menimbulkan kegaduhan yang pada saat itu sedang berlangsung proses belajar mengajar di sebuah sekolah Paud. Polres Lumajang saat ini telah mengamankan 22 orang terduga pelaku pengeroyokan.Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono Kabid Humas Polda Jatim mengatakan, dari 22 terduga pelaku ini 19 diantaranya sudah ditahan. “Dua tersangka lainnya tidak ditahan karena masuk kategori di bawah umur yakni 16 tahun

PERUNDANGAN DAN KEMAJUAN HAM
Upaya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia -  Pemajuan HAM di Indonesia memiliki berbagai periode mulai dari periode 1945-1950, periode 1950-1959, periode 1959-1966, periode 1966-1998 dan terakhir adalah periode 1998-sekarang.
Pemikiran HAM pada periode 1945-1950 kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pada periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode parlementer. Pemikiran pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membagakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
Pada periode 1959-1966 sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada demokrasi ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden.
Pada periode 1966-1998 telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.
Pada periode 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.

Upaya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
1. Periode Tahun 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka.
Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyatakan:
"...sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak"
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan parta politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 antara lain menyatakan sebagai berikut.
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintah dari presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut.
"Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di dalam tangan menteri".

2. Periode Tahun 1950-1959
Periode ini dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yangm enjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalngan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam buku "Perkembangan Pemikiran dan Pengaruan HAM di Indonesia menyatakan bahwa pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami "pasang" dan menikmatai "bulan madu" kebebasan.

Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek.

1.      Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
2.      Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
3.      Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
4.      Parlemen atau dewan perwakilann rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
5.      Wacanan dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondisif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota KOnstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.

3. Periode Tahun 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik.
Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan, Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

4. Periode Tahun 1966-1998
Setelah terjadi peralihan pemerintah dari Soekarno ke Soeharto, ada semangan untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah ditiadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.
Selanjutnya, pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judical review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentanhg Hak-Hak Asai Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut.

"Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a. antarmanusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat".
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia.
Pemerintah pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umunya membangun pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercemin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercemin dalam Pancasila.
Selain itu, Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.
Meskipun mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM.
Upaya masyarakat dilakukan melakui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Omdo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh mmasyarakat menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM.
Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan pengakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
Selain itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada', Deklarasi Kairo, dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengna penegakan HAM.


5. Periode Tahun 1998-Sekarang
Pergantian pemerintah pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakukan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya tang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan dua tahap, yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahan penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentanh HAM, seperti amandemen konstitusi negara (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Adapun, tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour) mulai dilakukan pada pasa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Tahap ini ditandai dengan penghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppers Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penhapusan Kerja Paksa dengan UU Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU Nomor 21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU Nomor 20/1999.
Selain itu, juga dicanangkan program "Rencana Aksi Nasional HAM" pada tanggal 15 Agustus 1998 didasarkan pada empat hal sebagai berikut.
-          Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
-          Desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.
-          Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
-          Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.


DASAR HUKUM HAM DI INDONESIA

Saat kita lahir dan muncul pertama kali melihat dunia ini, kita sudah mempunyai HAM. Apa sih HAM itu? HAM yang mempunyai singkatan yaitu Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan mengandung prinsip moral dan norma-norma yang menggambarkan dari perilaku manusia, dan dilindungi secara hak-hak hukum dan hak-hak internasional. Hak Asasi Manusia yang sudah dimiliki dari lahir yang dia sudah punya, tidak bisa diambil oleh orang siapapun.

ads
Hak Asasi Manusia adalah merupakan hak dasar dan hak pokok dari sebuah kehidupan bagi seseorang sendiri. HAM yang mempunyai hak fundamental, yang berarti tidak bisa dicabut atau diambil dimana saja selama manusia itu masih ada dan berada dimana saja. Oleh karena itu pemerintah menetapkan dasar hukum HAM yang terdapat pada undang-undang dasar 1945. Selain itu ada yang mendasari dari suatu hukum Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia sebagai berikut:

1. Pancasila
Pancasila yang mempunyai dasar-dasar sebagai pelindung hukum dalam Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pengakuan pancasila dalam HAM mempunyai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan pancasila dalam HAM mengetahui bahwa kita sederajat dan sama dalam mengembangkan kewajiban dan memiliki hak yang sama serta menghormati sesama manusia tanpa membedakan menurut keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, suku dan bangsa.
Mengembangkan sikap saling mencintai sesamam manusia, sikap tenggang rasa, dan sikap tida sewenang-wenang terhadap orang lain.
 Selalu bekerja sama, hormat menghormati dan selalu berusaha menolong sesama.
Mengembangkan sikap berani kepada diri sendiri dan kepada sesama membela kebenaran dan keadilan serta sikap adil dan jujur.
Menyadari bahwa manusia sama derajatnya sehingga manusia Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat manusia.

2. Pembukaan UUD 1945
Dalam pembukaan Indonesia yang bertuliskan “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Pernyataan ini adalah kalimat yang merupakan suatu unsur pernyataan universal karena semua bangsa ingin merdeka. Bahkan, didalam bangsa Indonesia yang merdeka, juga ada rakyat yang ingin merdeka, yakni bebas dari penindasan oleh penguasa, kelompok atau manusia lainnya (baca juga: Manfaat UUD Republik Indonesia)

3. Batang Tubuh UUD 1945
Selain dasar hukum Hak Asasi Manusia terhadap dalam pembukaan, didalam batang tubuh UUD 1945 juga terdapat dasar HAM, sebagai berikut:
Persamaan kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1) yaitu berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) yaitu berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (pasal 28) yaitu berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Hak mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan (pasal 28): “(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Kebebasan memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya itu (pasal 29 ayat 2) yaitu berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal 31 ayat 1) yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
BAB XA pasal 28 a s.d 28 j tentang Hak Asasi Manusia

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang nomor 39 yang mempunyai dasar perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia yang mempunyai isi sebagai berikut:
Bahwa setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik.
 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU.

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada masyarakat, perlu segera dibentuk suatu pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat.

6. Hukum Internasional tentang HAM yang telah Diratifikasi Negara RI
Hak Asasi Manusia yang mempunyai pengakuan dari hukum internasional yang telah mendapatkan ratifikasi dari negara Indonesia sebagai berikut:
 Undang- undang republik Indonesia No 5 Tahun 1998 tentang pengesahan (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, ridak manusiawi, atau merendahkan martabat orang lain.
Undang-undang Nomor 8 tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
 Deklarasi sedunia tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 (Declaration Universal of Human Rights).


Fadhillah

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Manual Categories